DI INDONESIA SECARA HUKUM
PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Semua
komponen anak bangsa secara bersama-sama sejak awal berjuang bahu membahu untuk
memperjuangkan kemerdekaan, melawan penindasan dan mengisi kemerdekaan
tersebut. Pengalaman sejarah bangsa melawan penjajah menunjukkan adanya benang
merah perjuangan dalam perlindungan Hak Asasi Manusia ( HAM). Kemerdekaan
memberikan makna kebebasan diantaranya bebas dari rasa takut, bebas untuk
berkumpul dan berpendapat, bebas untuk memeluk agama dan kebebasan lainnya yang
ada sebagai hak kodrati manusia itu sendiri.
Pengaturan Hak Asasi Manusia telah diatur secara tegas di
Indonesia pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (
HAM). Adapun yang dimaksud dengan HAM dalam undang-undang ini adalah : Seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dengan lahirnya UU No.39 Tahun 1999 diharapkan dapat
membantu dalam penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia. Penegakan Hak Asasi
Manusia (HAM) merupakan salah satu isu penting dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat di Indonesia, karena masih banyak pelanggaran HAM di Indonesia
yang belum terselesaikan dengan baik. Banyak pihak yang masih ragu-ragu akan
penegakan HAM tersebut.
Data terakhir dari Komnas HAM periode 2010-2011,
sekurang-kurangya ada sekitar 230 tiap bulannya pelaporan terhadap pelanggaran terhadap
hak asasi manusia. Adapun kasus pelanggaran HAM yang marak terjadi tersebut,
antara lain : penyiksaan, kebebasan beragama, perlakuan keras terhadap orang
yang diduga teroris, semburan lumpur lapindo, kesejahteraan, penggusuran
dan sebagainya.
Penegakan dan perlindungan HAM merupakan tanggung jawab
pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28 A-J UUD 1945 dan
dipertegas lagi pada Pasal 71-72 UU No.39 Tahun 1999.
Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,
melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang diatur dalam UU ini serta
peraturan lain baik nasional maupun internasional tentang HAM yang diakui oleh
Indonesia.
Salah
satu upaya pemerintah untuk menegakkan dan melindungi HAM adalah melahirkan UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang ini merupakan hukum
formil dari UU No.39 Tahun 1999. Diharapkan dengan adanya UU Pengadilan HAM
dapat mengurangi dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia.
Namun, tidak semua pelanggaran HAM dapat diselesaikan pada
Pengadilan HAM, hanya kasus-kasus tertentu yang menjadi kewenangan dari
Pengadilan HAM dan menggunakan hukum acara sebagaimana yang diatur pada
undang-undang tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik membahas lebih lanjut
tentang pelanggaran HAM yang menjadi kewenangan Pengadilan HAM dan bagaimana
hukum acaranya. Lebih tepatnya artikel ini diberi judul : Penyelesaian
Pelanggaran HAM Di Indonesia Menurut UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
HAM.
PEMBAHASAN
1.
Kompetensi Absolut Pengadilan HAM
Menyikapi Resolusi Dewan Keamanan PBB terhadap pelanggaran
berat HAM yang terjadi di Timor-Timur Pasca jajak pendapat, maka Pemerintah
Indonesia membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan mengundangkan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM adalah
pengadilan khusus terhadap pelanggaran berat HAM.
Definisi pelanggaran berat HAM terdapat pada Pasal 104 UU
No.39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menyatakan pelanggaran berat HAM adalah : Pembunuhan
massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
(arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan hilang orang
secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
(systematic discrimination)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak memberikan definisi
tentang pelanggaran berat HAM, tetapi hanya menyebut kategori pelanggaran berat
HAM, yang terdiri dari kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida.
Kejahatan kemanusiaan adalah : Salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik. serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
- Pembunuhan
- Pemusnahan
- Perbudakan
- Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
- Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan hukum internasional
- Penyiksaan
- Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara
- Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lai yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional
- Penghilangan orang secara paksa atau
- Kejahatan apartheid
Sedangkan kejahatan genosida, yaitu : Setiap perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
- Membunuh anggota kelompok
- Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok
- Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya
- Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok
- Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain
Pembatasan jenis kejahatan yang diatur oleh undang-undang
tersebut, mengakibatkan tidak semua pelanggaran HAM dapat diadili oleh
pengadilan ini. Definisi kedua kejahatan di atas merupakan pengadopsian dari
kejahatan yang merupakan yurisdiksi International Criminal Court ( ICC) yang
diatur pada Pasal 6 dan 7 Statuta Roma.
Selain
cakupan kejahatan yang dapat diproses oleh pengadilan HAM, masalah retroaktif
juga menjadi perbincangan hangat dalam penyelesaian pelanggaran berat HAM.
Pengadilan HAM Indonesia berwenang untuk mengadili pelanggaran berat HAM
setelah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 berlaku. Bagi pelanggaran berat HAM
yang terjadi sebelum undang-undang ini diundangkan, maka dilaksanakan oleh
Pengadilan HAM Ad hoc, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden melalui usul
Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR).
Hal ini sering disalah tafsirkan bahwa DPR-lah yang
berwenang untuk menentukan bahwa suatu peristiwa merupakan pelanggaran berat
HAM atau bukan, padahal sebagai lembaga politik DPR tidak memiliki kewenangan
sebagai penyelidik yang merupakan tindakan yudisial dan merupakan kewenangan
Komnas HAM seperti yang diatur undang-undang.[9]
2. Penyelesaian Pelanggaran HAM Di Pengadilan HAM
Hukum acara yang digunakan dalam Pengadilan HAM adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP ) sepanjang tidak diatur secara khusus
oleh UU No.26 Tahun 2000 (lex specialis derogat lex generalis). Adapun proses
penyelesaian pelanggaran berat HAM menurut UU No.26 Tahun 2000 adalah sebagai
berikut :
1. Penyelidikan
Penyelidikan
dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM). Hal ini
bertujuan adanya objektifitas hasil penyelidikan, apabila dilakukan oleh
lembaga independen. Dalam penyelidikan, penyelidik berwenang:
ü
Melakukan
penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat
yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran berat
HAM.
ü
Menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya
pelanggaran berat HAM serta mencari keterangan dan barang bukti.
ü
Memanggil
pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar
keterangannya.
ü
Memanggil
saksi untuk dimintai kesaksiannya.
ü
Meninjau
dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya jika dianggap
perlu.
ü
Memanggil
pihak terkait untuk melakukan keterangan secara tertulis atau menyerahkan
dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
ü
Atas
perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa pemeriksaan surat,
penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat, mendatangkan ahli dalam
hubungan dengan penyelidikan
2. Penyidikan
Penyidikan pelanggaran berat HAM dilakukan oleh Jaksa Agung.
Dalam pelaksanaan tugasnya Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang
terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Sebelum melaksanakan tugasnya,
penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai penyidik ad hoc, yaitu :
ü
Warga
Negara Indonesia
ü
Berumur
sekurang-kurangnya 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun
ü
Berpendidikan
Sarjana Hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hokum
ü
Sehat
jasmani dan rohani
ü
Berwibawa,
jujur, adil dan berkelakuan baik
ü
Setia
kepada Pancasila dan UUD 1945
ü
Memiliki
pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia
Penyidikan diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung
sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.
Penyidikan dapat diperpanjang 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai daerah
hukumnya dan dapat diperpanjang lagi 60 hari. Jika dalam waktu tersebut,
penyidikan tidak juga terselesaikan, maka dikeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.
3. Penuntutan
Penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung dapat
mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan
masyarakat. Syarat untuk diangkat menjadi penuntut umum sama halnya dengan
syarat diangkat menjadi penyidik ad hoc. Penuntutan dilakukan paling lama 70
hari sejak tanggal hasil penyidikan diterima.
4. Pemeriksaan di Pengadilan
Pemeriksaan perkara pelanggaran berat HAM dilakukan oleh
majelis hakim Pengadilan HAM berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang hakim pada
Pengadilan HAM dan 3 orang hakim ad hoc.
Syarat-syarat
menjadi Hakim Ad Hoc :
ü
Warga
Negara Indonesia
ü
Bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
ü
Berumur
sekurang-kurangnya 45 tahun dan paling tinggi 65 tahun
ü
Berpendidikan
sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hokum
ü
Sehat
jasmani dan rohani
ü
Berwibawa,
jujur, adil dan berkelakuan baik
ü
Setia
kepada Pancasila dan UUD 1945
ü
Memiliki
pengetahuan dan kepedulian di bidang Hak asasi manusia
Perkara paling lama 180 hari diperiksa dan diputus sejak
perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Banding pada Pengadilan Tinggi dilakukan
paling lama 90 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi.
Kasasi paling lama 90 hari sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.
3.
Permasalahan dalam Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM
Harapan
besar lahirnya UU No.26 Tahun 2000 dalam penegakan Hak Asasi Manusia, namun
kenyataannya hal tersebut belum bisa terlaksana secara maksimal sampai
sekarang. Adapun salah satu penyebabnya adalah ditemukan beberapa kelemahan
dalam undang-undang ini dan pelaksanaannya.
Kelemahan-kelemahan
yang dimaksud, yaitu :
1. Penempatan pengadilan HAM di dalam lingkungan
Peradilan Umum menjadikannya sangat
bergantung pada mekanisme birokrasi dan administrasi peradilan umum yang
ditempatinya.
2. Adanya Pasal dalam UU No.26 Tahun 2000 yang
disalahartikan sehingga memungkinkan para pelaku untuk bebas. Contoh Pasal 35
ayat 1 yang berbunyi: Setiap korban pelanggaran HAM dan atau ahli warisnya
dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Sehingga timbul
anggapan bahwa pelaku pelanggaran hak asasi manusia dapat bebas dengan membayar
kompensasi.
3. Kurangnya keseriusan pemerintah dalam
menyelesaikan pelanggaran HAM . Hal ini terlihat, banyaknya kasus-kasus HAM
yang belum terselesaikan, bahkan hilang begitu saja.
4. Adanya intervensi politik dalam penyelesaian
pelanggaran berat HAM, karena terkadang kasus tersebut melibatkan penguasa.
Dengan kata lain, tidak adanya objektifitas dalam penyelesaian pelanggaran
berat HAM.
PENUTUP
Setiap
pelanggaran hak asasi manusia, baik itu berat ataupun tidak, senantiasa
menerbitkan kewajiban bagi negara untuk mengupayakan penyelesaiannya.
Penyelesaian tersebut bukan hanya penting bagi pemulihan hak-hak korban, tetapi
juga bagi tidak terulangnya pelanggaran serupa di masa depan. Pendirian
Pengadilan HAM Indonesia merupakan salah satu wujud dari tanggung jawab negara
dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia. Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam Pengadilan HAM,
baik dari instrumen hukum, infrastruktur serta sumber daya manusianya yang
bermuara pada ketidakpastian hukum. Hal ini tentu saja harus segera dibenahi
selain untuk pengefektifan sistem hukum nasional Indonesia, juga untuk
meminimalkan adanya celah mekanisme Internasional untuk mengintervensi
penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia. Sehingga tidak menutup kemungkinan dibentuknya
Pengadilan HAM Internasional Ad hoc, jika Pengadilan HAM Indonesia tidak
terlaksana sesuai dengan standar internasional. Oleh karena itu, perlu adanya
political will dari pemerintah serta adanya dukungan yang kuat dari masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Kuncoro
Purbopranoto, 1969, Hak Asasi Manusia dan Pancasila, Yogyakarta : Pradja
Paramita
Mahsyur
Effendi, 1994, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia
Majda
El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia Undang- Undang
Dasar 1945 sampai dengan Amandemen UUD Pada Tahun 2002, Jakarta: Prenada Media
Miriam
Budiardjo, 1985, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT.Gramedia
Todung
Mulya Lubis, 1982, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Sinar Harapan
PUSHAM
UII, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta
Ramdlon
Naming, 2001, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia. UI
Undang-Undang
Dasar 1945
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia